Ibrahberarti menafsirkan mimpi dan memberitahukan implikasinya bagi kehidupan si pemimpin atau keadaan setelah kematian dan abara al-wadi berarti melintasi lembah dari yang satu ke ujung lain yang berlawanan. DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1995) edisi ke 2, cet. Ke-4
JURNALPENDIDIKAN ISLAM AL I’TIBAR Vol 9 No 1 (2022): Jurnal Pendidikan Islam: Al I'tibar Aurat itu dilarang dibuka di hadapan laki-laki lain. Akan tetapi mereka sepakat kalau karena dharurat seperti berobat, boleh dibuka. memandang atau memegang aurat diperbolehkan dengan syarat keamanan dan nafsu birahi terjaga. Kata Kunci
122 JADIKAN SETIAP PERISTIWA ITU SEBAGAI I’TIBAR . Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh . Bismillaahirrahmaanirrahiim .
Kataal-i’tibar merupakan masdar dari kata Arti harfiah dhabit ada beberapa macam, yakni dapat berarti yang kokoh, yang kuat, yang tepat, dan yang hafal dengan sempurna. Ulama hadis memberikan rumusan sebagai berikut: 1.Periwayat yang bersifat dabit
Syubah mengatakan dia banyak puasa dan shalat. ‘Abdurrahman bin Yusuf bin Kharrasy mengatakan: “Dia tidak bisa dijadikan i’tibar”. Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan: shaduq, hasan al-hadis. Saya cukup heran dengan kesimpulan Jawami’u al-Kalim ini sebab tidak ada yang mentsiqahkan kecuali Ibnu Hibban yang secara umum tidak
2 Majaz. Majaz menurut ulama balaghah adalah lafal yang digunakan bukan pada makna sebenarnya karena adanya hubungan (’alaqah) disertai petunjuk (qarinah) yang menghalangi dari pemahaman makna sebenarnya tersebut [8]. Majaz jika ditinjau dari sisi hubungan (’alaqah)-nya ada dua macam; yaitu jika hubungan (’alaqah) antara makna majazi
. "Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan? Dan langit, bagaimana ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana ditegakkan? Dan bumi, bagaimana dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sungguh engkau Muhammad hanyalah pemberi peringatan." Kutipan terjemahan surat al-Ghasyiyah itu mengisyaratkan pentingnya memerhatikan alam sekitar dan memetik pelajaran darinya. Dalam terminologi keislaman, praksis tersebut diistilahkan sebagai iktibar i'tibar. Secara umum, istilah ini berarti mengambil pelajaran ibrah dari suatu peristiwa. Secara kebahasaan, kata ibrah عبرة berasal dari bentuk abara-ya'buru-abratan. Artinya, 'menyeberang dari satu tepi ke tepi yang lain.' Karena itu, sampan dalam bahasa Arab disebut sebagai 'abbarah. Sang hujjatul Islam, Imam al-Ghazali dalam Ihya' Ulum ad-Din menjelaskan, makna i'tibar adalah seseorang yang menyeberang dari apa yang disebutkan kepada apa yang tidak disebutkan. Karenanya, seorang yang hendak melakukan i'tibar tidak membatasi diri pada apa-apa yang disebutkan saja kepadanya. Kemudian, al-Ghazali memberikan contoh. Misalnya, lanjur dia, seseorang menyaksikan suatu musibah yang menimpa orang lain. Jadilah musibah itu sebagai ibrah baginya. Maksudnya, orang itu “menyeberangkan” apa-apa yang dilihat dan disaksikannya kepada dirinya sendiri untuk menggugah kesadaran bahwa bisa saja dirinya yang terkena musibah mirip dengan yang dilihatnya. Pimpinan Ponpes Ta’mirul Islam KH Mohammad Halim menyajikan penjelasan lain soal i'tibar. Ia mengatakan, istilah itu berarti pengambilan pelajaran dari suatu peristiwa oleh seseorang meskipun pelajaran itu tidak tampak atau disebutkan secara nyata. Ambil contoh, peristiwa penangkapan seorang koruptor. Dalam kasus ini, masing-masing individu bisa saja melakukan i'tibar secara berbeda. Satu orang mungkin ber-i'tibar dengan mengucapkan, “Maka hiduplah dengan jujur. Meskipun miskin, hidup akan damai.” Sedangkan yang lain mungkin berkata, “Jangan masuk politik karena akan membuat orang jadi setan.” I'tibar yang berbeda-beda ini terjadi karena setiap orang punya pengalaman hidup yang berlainan pula. Alquran dan Sunnah I'tibar tidak hanya tertuju pada peristiwa, melainkan juga sumber-sumber agama, yakni Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Bahkan, dari sanalah banyak diperoleh ibrah yang luar biasa. Karena itulah, ketika tertimpa masalah atau kebingungan, umpamanya, seorang Mukmin dapat mendirikan shalat hajat atau shalat istikharah. Kemudian, ia dianjurkan untuk membaca Alquran. Akhirnya, dengan itulah dirinya memperoleh jawaban. Istilah i'tibar juga dapat ditemukan dalam penelitian hadis-hadis Nabi SAW. Secara kebahasaan, i'tibar berkaitan dengan i'tabara, yang berarti 'memperhatikan suatu perkara untuk mengetahui perkara lain yang sejenis.' Dalam ilmu hadis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahmud Thahan dalam Musthalah al-Hadits dijelaskan, i'tibar adalah penelusuran jalur-jalur hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi untuk mengetahui apakah terdapat rawi lain yang berserikat dalam riwayatnya atau tidak. Alumnus Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences Isyfi Anni dalam artikelnya di Hadipedia menjelaskan, saat melakukan i'tibar seseorang mesti memerhatikan tiga elemen. Pertama adalah jalur sanad. Kedua, nama-nama perawi. Terakhir, metode periwayatan yang digunakan antarperawi. Metode yang dimaksud adalah mencermati lambang periwayatan yang digunakan perawi dalam menerima dan/atau menyampaikan riwayat. Ini dikenal pula dengan istilah tahammul wa ada’ul hadits. Lambang yang dipakai oleh masing-masing perawi menunjukkan tersambung atau tidaknya sebuah periwayatan serta level akurasi perawi. Namun, lambang yang tercantum tetap harus dikaji ulang. Sebab, mungkin saja terdapat informasi yang tidak lengkap tadlis yang berkaitan dengan sanad. I'tibar dilakukan dengan menganalisis jumlah periwayatan. Kemudian, membuat skema jalur sanad secara cermat. Apabila ada sedikit kesalahan, seperti keliru penulisan nama, maka ini akan sangat berpengaruh ketika menyimpulkan kualitas sanad. Kegiatan i'tibar dalam penelitian hadis bertujuan mengetahui ada atau tidaknya pendukung berupa mutabi atau syahid pada hadis yang diteliti. Apabila jalur sanad yang diteliti memiliki pendukung, sanad hadis yang telah memenuhi syarat dikuatkan, layak untuk dinaikkan kualitasnya. Namun, jika kualitas awal sanad hadis sudah sangat lemah dhaif, maka ia tidak dapat dikuatkan dengan jalur lain.
Oleh Fahad Asadulloh facebook Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan santri di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Ma'unah-Sari Bandar Kidul Kediri Jawa Timur. A. Latar Belakang Masalah Al-Quran dan Hadits merupakan sumber hukum utama bagi umat Islam. Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah SWT yang berisi tentang firman-firmanNya yang disampaikan kepada Nabi Muhamad SAW melalui Jibril untuk diajarkan kepada umat manusia. Dilihat dari isi teksnya, makna Al-Quran ada yang masih bersifat global atau garis besar, meskipun tidak secara keseluruhannya. Untuk menjelaskan hal-hal yang masih bersifat garis besar tersebut diperlukanlah penjelas yang berupa hadits dari Nabi Muhammad Saw. Hadits yang merupakan segala berita yang berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir dan hal ikhwal segala sifat dan keadaan Nabi Muhammad Saw[1], mempunyai fungsi menjelaskan dan menjabarkan segala keterangan-keterangan yang ada di dalam Al-Qur’an yang masih bersifat global atau garis besar yang perlu adanya penjelasan dalam pemahamannya atau pelaksanaannya. Selanjutnya didalam memahami suatu hadits guna bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari diperlukan adanya metode yang sering disebut sebagai fiqih al hadits. Karena dengan adanya kerja sama antara ahli fiqih dan ahli hadits, ajaran Islam dapat dibuktikan kebenarannya dan dapat pula diamalkan ajarannya secara benar[2] Dalam perjalanan sejarah, karena banyak faktor yang mempengaruhi periwayatannya[3], para ahli hadits sangat berhati-hati didalam menerima periwayatan hadits tersebut, apalagi ketika masa muhaddisin dalam membukukan hadits, mengingat begitu pentingnya peranan hadits sebagai sumber Islam yang kedua. Para ahli hadits sangat selektif didalam meriwayatkannya dan mengambilnya sebagai sumber pegangan. Apakah termasuk hadits yang maqbul, yang bisa diterima dan bisa diamalkan atau termasuk hadits yang mardud, yang keberadaannya di tolak untuk diambil sebagai sumber pegangan[4]. Para ahli hadits mengkatagorikan hadits tersebut karena memandang dan memperhatikan perowi-perowi yang membawanya, apakah bisa dimasukkan sebagai hadits yang Maqbul atau termasuk dalam katagori hadits yang mardud.. Karena secara struktur keberadaan hadits bisa dilihat dari aspek sanad rantai penuturnya, matan redaksi hadits atau mukharij rowi[5]. Sehubungan dengan upaya tersebut, para ulama akhirnya menyusun kriteria-kriteria tertentu. Sebagai langkah awal, mereka mengadakan penelitian pada sanad hadis. Ulama Hadis menilai bahwa kedudukan sanad hadis sangat penting dalam riwayat hadis. Sebagai konsekuensi dari pendapat tersebut, maka suatu hadis yang tidak memiliki sanad, oleh ulama hadis tidak dapat disebut hadis[6] Di sinilah sebenarnya pentingnya membahas lebih lanjut dan mendalam tentang studi sanad kaitannya dengan keberadaan hadis Rasulullah. Makalah ini akan membahas I’tibar meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya. Berkaitan dengan kegiatan penelitian sanad i’tibar meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatanya, akan kami paparkan mengenai beberapa para periwat hadits mulai dari masa sahabat sampai masa sesudah atba’at tabi’in, cara periwayatan dan penerimaannya, keadaaan / sifat rowi serta langkah-langkah dalam penelitian sanad. A. Para periwayat hadits [7] Masa sahabat Tujuh sahabat yang banyak meriwayatkan hadits 4. Sayyidal Aisyah, umul mukminin Sebagian nama sahabat yang ternama 2. Abdullah bin Amd bin Ash Masa tabiin 2. Nafi’ sahaya ibnu Umar Masa atba’at tabi’in Masa setelah atba’at tabi’in B. Cara periwayatan Al-Hadist 1. Al-Sima’, yakni suatu cara yang ditempuh para muhaddisin periode pertama untuk mendapatkab hadits dari Nabi Muhammad Saw, kemudian mereka meriwayatkannya kepada generasi berikutnya dengan cara yang sama. Intinya mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara dibacakan atau didektekan, baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Ungkapan cara meriwayatkannya sesuai dengan cara penerimaan yang seperti ini diantaranya adalah dengan menggunakan kata ...sami’tu.. ...haddatsana... ....akhbarona... ....khobbarna....qola..... 2. Al-aradl, yakni si pembaca menyuguhkan hadistnya kepada sang guru, baik ia sendiri yang membacanya maupun orang lain yang membacanya sedang dia mendengarkannya. Aradl juga diartikan bahwa seorang murid membacakan kitab kepada gurunya qari’ sedang murid yang lain membandingkan hadist yang dibacakan itu dengan kitab mereka, atau mendengarnya dengan penuh perhatian, baru menyalinnya dengan kitab tersebut. Ungkapan cara meriwayatkannya sesuai dengan cara penerimaan yang seperti ini diantaranya adalah dengan menggunakan kata..qoro’tu ala fulan... 3. Ijazah, yakni pemberian ijin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis darinya atau kitab-kitabnya. Ungkapan cara meriwayatkannya sesuai dengan cara penerimaan yang seperti ini diantaranya adalah dengan menggunakan kata ..albaana... 4. Munawalah, yakni seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan dengan sanad darinya. Munawalah dibagi menjadi dua tipe a. Dengan dibarengi ijazah, misalnya setelah sang guru menyerahkan kitab-kitab asli atau salinannya, lalu mengatakan “Riwayatkanlah dari saya ini……” b. Tanpa dibarengi ijazah, yakni ketika naskah asli atau turunannya diberikan kepada muridnya dengan dikatakan bahwa itu adalah apa yang didengan dari si Fulan, tanpa diikuti dari suatu perintah untuk meriwayatkannya. 5. Mukatabah, yakni seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadist kepada orang ditempat lain atau yang dihadapannya korespondensi. Ungkapan cara meriwayatkannya sesuai dengan cara penerimaan yang seperti ini diantaranya adalah dengan menggunakan kata ..akhbarona fulaan makatabah.... atau ...kataba ilayya fulaan qola haddasanaa fulaan... 6. Wijadah, yakni memperolah tulisan hadist orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan lafadl sama’, qiroah maupun selainnya, dari pemilik hadist atau pemilik tulisan tersebut dalam arti lengkap dengan sanadnya. Ungkapan cara meriwayatkannya sesuai dengan cara penerimaan yang seperti ini diantaranya adalah dengan menggunakan kata ....wajadtu bikhoththi fulaan, haddasana fulaan... aku dapatkan pada tulisan fulan bahwasanya fulan menceritakan kepada kami... 7. Washiyah, yakni pesan seseorang dikala mau mati atau bepergian, dengan sebuah kitab supaya diriwayatkan. Tapi menurut Ibnu al Shalah tidak boleh meriwayatkan melalui metode ini karena yang namanya wasiat hanya berfungsi sebagai pelimpahan hak milik atas naskah dan bukan masalah periwayatan. 8. I’lam, berarti pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadist yang ditunjuknya adalah hadits yang diterima dari seseorang, dengan tidak mengatakan menyuruh agar si murid meriwayatkannya.[8] Selanjutnya Nurudin menjelaskan bahwa dengan melihat cara periwayatannya seperti tersebut di atas, maka hadits dapat diterima atau ditolak karena 1. Istilah istilah itu menunjukkan kepada kita cara yang ditempuh oleh seorang rawi dalam menerima hadits yang sedang kita teliti, maka kita akan tahu apakah cara penerimaan hadits itu benar atau salah. bila cara yang ditempuh itu tidak benar, maka gugurlah salah satu syarat diterimanya hadits. 2. Jika seorang perowi menerimanya hadits dengan cara penerimaan yang dinilai rendah lalu dalam menyampaikannya menggunakan ungkapan yang lebih tinggi, seperti menggunahakan lafadh hassanana atau akhbarona untuk hadits yang diterima melalui ijazah maka berarti ia telah melakukan penipuan tadlis dan seringkali ulama menuduhnya berbuat dosa karena hal itu.[9] Meneliti pribadi perowi hadist dalam ilmu hadist disebut dengan Rijali al-Hadist, secara definisi diartikan ilmu pengetahuan yang dalam pembahasannya membicarakan hal ikhwal dan sejarah kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in[10] Menurut para ulama sahabat ialah orang yang bertemu dengan Rosulullah saw dalam keadaan beriman dan meninggal dunia dalam keadaan Islam[11]. Masa sahabat berakhir dengan wafatnya Abu Thufail Amir bin Watsilah al Laitsi al Kanani di tahun 100 H[12]. Sedangkan cara untuk mengenali sahabat adalah a. Berita yang mutawatir dalam arti sudah diketahui secara meluas tentang persahabatannya dengan rasul. Misalnya tentang Khulafaurrosidin b. Dikenal, meskipun tidak meluas, seperti Dhammam bin Tsa’labah dan Ukasyah bin Mihsshan c. Melalui pengukuhan sahabat lain, seperti Hamamah al-Dusi yang disaksikan oleh Abu Musa al-Asy’ari d. Melalui berita dari salah seorang tabi’in yang tsiqoh e. Pengakuan bahwa dirinya adalah sahabat, tetapi dengan dua syarat dia harus benar-benar adil dan hidup pada zaman yang memungkinkan.[13] Tabi’in ialah orang-orang yang menjumpai sahabat dalam keadaan iman dan islam, dan mati dalam keadaan islam.[14] Menurut al Hakim masa tabiin berakhir setelah orang yang bertemu sahabat terakhir meninggal dunia. Jadi tabiin terakhir adalah orang yang bertemu dengan Abu Thufail di Makkah, As Saib di Madinah, Abu Ummah di Syam, Ubaidullah bin Abi Aufah di Kuffah dan Anas bin Malik di Basrah, yang berarti Kholid bin Khalifah dianggap sebagai tabiin terakhir meninggal di tahun 180 H, karena pernah bertemu dengan seorang sahabat yang paling akhir wafatnya yaitu Abu Thufail di Makkah.[15] Sebagian tabiin ada yang disebut sebagai mukhodhramun yaitu orang yang hidup semasa dengan Nabi Saw, pada masa jahiliyyah lalu masuk Islam dan tidak pernah berjumpa dengan beliau, seperti Abu Usman al Nahdi Abdurrahman bin Mullin w. 95 H[16] Tabi’it tabi’in adalah orang yang bertemu dengan tabiin dalam keadaan beriman kepada rasulullah saw.[17]dan meninggal dalam keadaan Islam[18]. Masa ini berakhir pada tahun 220 H. D. Kegiatan Penelitian Sanad Untuk meneliti hadis, diperlukan acuan. Acuan yang digunakan adalah kaedah kesahihan hadis bila ternyata hadis yang diteliti bukanlah hadis mutawatir. Benih-benih kaedah kesahihan hadis telah muncul pada zaman Nabi dan zaman sahabat Nabi, Imam Syafi’i, Imam Bukhori, Imam Muslim dan lain-lain. Kegiatan penelitian hadis baik dari segi sanad maupun matan adalah bertujuan untuk mengetahui kualitas hadis yang sedang diteliti, diterima atau tidak, shahih atau dhoif. Salah seorang ulama hadis yang berhasil menyusun rumusan kaedah kesahihan hadis tersebut adalah Abu Amr Usman bin Abdir-Rahman bin al-salah asy-syahrazuri, yang biasa disebut Ibnus-Salah, adapun rumusannya adalah Hadis shahih yaitu hadis yang bersambung sanadnya sampai kepada Nabi, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dabit sampai akhir sanad, didalam hadis itu tidak terdapat kejanggalan syuzuz dan cacat ’illat[19] Adapun langkah-langkahnya adalah[20] 1. Melakukan takhrij meneliti sanad dan rawi Takhrij adalah menunjukkan asal beberapa hadits pada kitab-kitab yang ada kitab-kitab induk hadits dengan menerangkan hukum dan kualitasnya.[21] Dengan tujuan a. Mengetahui keberadaan suatu hadits, apakah benar suatu hadits yang akan diteliti terdapat dalam buku-buku hadits atau tidak b. Mengetahui sumber-sumber otentik suatu hadits dari buku hadits apa saja yang didapat c. Mengetahui ada berapa tempat hadits tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam sebuah buku hadits atau dalam bebrapa buku induk hadits. d. Mengetahui kualitas hadits maqbul atau mardud[22] Menurut Agil Husein al-Munawar dan Masykur Hakim metode untuk mentakhrij hadits adalah a. Tahkrij dengan jalan mengetahui sahabat perawi hadits b. Tahkrij dengan jalan mengetahui lafadz pertama matan hadits c. Tahkrij dengan jalan mengetahui lafadz yang sering digunakan dari bagian matan hadits d. Tahkrij dengan jalan mengetahui topik hadits atau salah satu topiknya, jika ia memiliki topik yang banyak e. Tahkrij dengan jalan mengetahui sifat-sifat spesifik pada sanad hadits atau matannya[23] Sanad Mengetahui keadaan sanad hadits merupakan faktor yang sangat penting dalam kegiatan penelitian hadits. Karena keadaan sanad-lah, yang menyebabkan kedudukan hadits itu berbeda-beda, dalam arti mungkin hadits yang satu lebih tinggi derajatnya dari hadits yang lain. Perbedaan inilah yang nantinya oleh para ahli hadits dijadikan patokan didalam mengklasifikasikan hadits. Apakah termasuk hadits muttashil[24] bersambung sanadnya dan munqothi’ terputus sanadnya jika dilihat dari aspek sanadnya[25]. Atau termasuk hadits yang sahih, hasan atau dhoif, jika dilihat dari kualitas perowi di dalam rangkaian sanadnya[26]. Sanad adalah rangkaian para rawi yang memindahkan matan dari sumber primernya, sehingga sanad hanya berlaku pada serangkaian orang, bukan dilihat dari pribadi secara perorangan.[27] Jadi yang perlu diperhatikan dalam memahami hadits terkait dengan sanadnya adalah mengenai keutuhan sanadnya, jumlahnya dan peawi akhirnya.[28] Zeid B Smeer dalam bukunya Ulumul Hadits pengantar studi hadits praktis menjelaskan tentang tingkatan sanad dan jenisnya menurut muhaditsin, yaitu [29] 1. Ashahhu Al-Asanid sanad - sanad yang lebih sahih Penilaian sanad yang dikhususkan baik kepada sahabat tertentu, penduduk tertentu atau suatu masalah tertentu. Misalnya a. Jika dikhususkan pada sahabat tetentu misalnya Abu Hurairoh, rangkaian sanadnya yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Ibnu Al-Musayyab dari Abu Hurairoh. Atau Ibnu Umar, rangkaian sanadya yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi dari Ibnu Umar. b. Jika dikhususkan pada penduduk tertentu misalnya penduduk Makkah, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah dari Amru bin Dinar dari Jabir bin Abdullah. Kalau penduduk Madinah, yaitu yang diriwayatkan oleh Isma’il bin Abi Hakim dari Abidah bin Abi Sufyan dari Abu Hurairoh. c. Contoh Ashahhu Al-Asanid yang mutlak adalah jika menurut imam Bukhori ialah Malik, Nafi dan Ibnu Umar, jika menurut Ahmad bin Hambal adalah Az-Zuhri, Salim bin Abdillah dan ayahnya Abdillah bin Umar, jika menurut imam An-Nasai adalah Ubaidillah ibnu Abbas dan Umar bin Khottob. 2. Ahsanu Al-Asanid sanand – sanad yang lebih hasan Hadits dengan Alsanu Al-Asanid lebih rendah tingkatannya jika dibanding Ashahhu Al-Asanid. Contoh antara lain jika ada hadits yang bersanad a. Bahaz bin Hakim dari ayahnya Hakim bin Muawiyah dari kakeknya Muawiyah bin Haidah b. Amru bin Syuaib dari ayahnya Syua’aib bin Muhammad dari kakeknya Muhammad bin Abdillah bin Amr bin Ash 3. Adh’afu Al-Asanid sanad – sanad yang lebih lemah Hadits dengan rangkaian sanad ini adalah yang paling rendah tingkatannya. Contohnya a. Yang dikhususkan pada sahabat tertentu o Abu Bakar Ash shidiq, hadist yang diriwayatkan oleh Shadaqah bin Musa dari Abi Ya’qub dari Murrah Ath-Thayyib dari Abu Bakar o Abu Hurairoh yaitu hadits yang diriwayatkan oleh As-Sariyyu bin Isma’il dari Dawud bin Yazid dari ayahnya dari Abu Hurairoh b. Yang dikhususkan pada penduduk o Kota Yaman, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Hafsh bin Umar dari Al-Hakam bin Aban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas o Kota Mesir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Muhammad bin Al-Hajjaj ibnu Rusydi dari ayahnya dari kakeknya dari Qurroh bin Abdurrahman dari setiap orang yang memberikan hadits kepadanya o Kota Syam, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Qais dari Ubaidillah bin Zahr dari Ali bin Zaid dari Al-Qosim dari Abu Umamah Jenis sanad 1. Sanad Aliy adalah sebuah sanad yang jumlah rawinya lebih sedikit jika dibanding dengan sanad lain. Hadits dengan sanad yang jumlah rawinya sedikit akan tertolak dengan sanad yang sama jika jumlah rawinya lebih banyak. 2. Sanad Nazil adalah sebuah sanad yang jumlah rawinya lebih banyak jika dibandingkan dengan sanad yang lain. Hadits dengan sanad yang lebih banyak akan tertolak dengan sanad yang sama, jika jumlah rawinya lebih sedikit. Rowi Pengertian rawi adalah orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampaian[30] sedangkan Subhi As Shaleh menjelaskan bahwa rawi adalah orang yang mengutip hadits sekaligus dengan sanadnya dan ia bisa seorang laki-laki- atau perempuan[31]. Kemudian jumhur imam hadits dan fiqih menyepakati bahwa orang yang dapat dipakai hujjah riwayatnya hendaklah adil dan dhabith atas hadits yang diriwayatkannya.[32] Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi, sedangkan ke-dhabit-annya berhubungan dengan kapasitas intelektual. Apabila kedua hal itu dimiliki oleh periwayat hadis, maka periwayat tersebut dinyatakan sebagai bersifat tsiqah, istilah tsiqah merupakan gabungan dari sifat adil dan dabit.[33] Sedangkan perinciannya adalah bahwa rawi tersebut seorang muslim, baligh, berakal sehat, terhindar dari kefasikan, bertaqwa dan memelihara muru’ah yakni kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia pada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan kebiasaan dan bila meriwayatkan secara makna, disyaratkan baginya untuk mengetahui kata-kata yang tepat seperti asalnya.[34] Intelektual periwayat yang memenuhi syarat ke-shahihan sanad[35] hadis disebut sebagai periwayat yang dhabit, yaitu yang memiliki ciri sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hafalan bila hadits yang diriwayatkan berdasarkan hafalannya, benar tulisannya bila hadits yang diriwayatkannya berdasarkan tulisan dan bila ia meriwayatkan hadits secara makna maka ia tahu persis kata-kata apa yang sesuai untuk digunakan.[36] Maka bagi perowi yang memiliki sifat-sifat tersebut diatas, maka hadits yang diriwayatkannya harus diamalkan dan dapat dipakai hujjah. Dan sebaliknya jika rawi tersebut tidak memiliki sifat di atas maka hadits periwayatannya harus diteliti dulu tingkat kecacatannya. Jika kecacatannya mengenai sifat adalah perowi seperti kafir, gila, fasik maka itu tidak dapat diterima, kecuali bagi perowi fasik dan mau bertobat dari kefasikannya. Sedangkan jika kecacatannya dari sifat kedhabitahn maka periwayatannya tidak dapat diterima karena menunjukkan sifat ketidakcakapan perowi dalam meriwayatkan hadis.[37] Itibar adalah meneliti jalur-jalur periwayatan hadits yang diduga diriwayatkan sendiri, agar diketahui bahwa hadits tersebut memiliki hadits mutabi’ yang mengikuti hadits dari jalur periwayatan lain yang semakna, syahidnya hadits lain yang jadi penguat atau tidak memiliki syahid atau mutabi’.[38] Jadi dengan dilakukannya al-i’tibar, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi, kegunaan al-i’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus mutabi’ atau syahid dalam istilah ilmu hadis biasa diberi kata jamak dengan syawahid ialah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat nabi. Melalui al-i’tibar akan dapat diketahui apakah sanad hadis yang diteliti memiliki mutabi’ dan syahid ataukah tidak. 3. Meneliti nama para perawi yang ada dalam rangkaian sanad baik tentang nama, nisbat, kunyah dan laqob julukan melalui kitab-kitab Rijal Al-Hadits 4. Meneliti al-jarh wa ta’dil untuk mengetahui karakteristik rawi yang bersangkutan, baik dari segi moral maupun aspek intelektualnya keadilan dan ke-dhabit-an Al-jarh menurut muhadditsin adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan adalah atau ke-dhabit-annya. Sedang ta’dil diartikan sebagai kebalikan dari jarh yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukuminya bahwa ia seorang yang adil dan dhabit.[39] Sehingga dengan meng-jarh wa ta’dil seorang perowi, kita dapat menetapkan periwayatan seorang rowi itu dapat diterima, atau ditolak sama sekali.[40] Demikian paparan kami mengenai kegiatan penelitian sanad I’tibar meneliti peibadi periwayat dan metode periwayatannya, kemudian dibagian akhir dari makalah ini kami beri contoh kegiatan penelitian sanad yang penulis ambil dari internet guna menambah pemahaman terkait materi yang sudah dipaparkan di atas. Contoh …………من رأى منكم منكراDalam melakukan penelitian hadis ini, yang harus dilakukan lebih dahulu adalah melacaknya dari berbagai macam kitab koleksi para kolektor hadis, diantaranya adalah pada kitab-kitab sbb 1 Shahih Muslim, Juz 1 hal 69ØØ¯ØÙ†Ø§ أبو بكر بن ابى شيبة ØØ¯ØÙ†Ø§ وكيع عن سÙيان.Ø- ÙˆØØ¯ØÙ†Ø§ Ù…ØÙ…د بن المØÙ†Ù‰. ØØ¯ØÙ†Ø§ Ù…ØÙ…د بن Ø¬Ø¹ÙØ± ØØ¯ØÙ†Ø§ شعبة كلاهما عن قيس بن مسلم عن ØØ§Ø±Ù‚ بن شهاب وهذا ØØ¯ÙŠØ أبى بكر. Ùقال أول من بدأ Ø¨Ø§Ù„ØØØ¨Ø© يوم العيد قبل الصلاة مروان. Ùقام إليه رجل. Ùقال الصلاة قبل Ø§Ù„ØØØ¨Ø©. Ùقال قد ترك ماهنالك. Ùقال أبو سعيد أما هذا Ùقد قضى ما عليه. سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من راى منكم منكرا Ùليغيره بيده ÙØ¥Ù† لم ÙŠØ³ØªØØ¹ ÙØ¨Ù„سانه ÙØ¥Ù† لم ÙŠØ³ØªØØ¹ ÙØ¨Ù‚لبه وذلك أضه٠الإيمان Ø£ØØ±Ø¬Ù‡ مسلم 2 Sunan al-Turmudzi, Juz III, hal 317-318ØØ¯ØÙ†Ø§ بندار Ø£ØØ¨Ø±Ù†Ø§ عبد الرØÙ…Ù† بن مهدى Ø£ØØ¨Ø±Ù†Ø§ سÙيان عن قيس بن مسلم عن ØØ§Ø±Ù‚ بن شهاب قال أول من قدم Ø§Ù„ØØØ¨Ø© قبل الصلاة مروان. Ùقال لمروان ØØ§Ù„ÙØª السنة. Ùقال ياÙلان ترك ما هنالك Ùقال أبو سعيد أما هذا Ùقد قضى عليه. سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من راى منكرا Ùلينكره بيده ومن لم ÙŠØ³ØªØØ¹ ÙØ¨Ù„سانه ومن لم ÙŠØ³ØªØØ¹ ÙØ¨Ù‚لبه وذلك أضع٠الإيمان. هذا ØØ¯ÙŠØ صØÙŠØ Ø£ØØ±Ø¬Ù‡ الترمذى 3 Sunan Abi Dawud, Juz I, hal 123ØØ¯Ø³Ù†Ø§ Ù…ØÙ…د بن العلاء, اØÙ†Ø§ أبو معويه ØÙ†Ø§ الاعمش عن عسماعيل ابن جاء عن أبي سعيد Ø§Ù„ØØ¯Ø±ÙŠ Ùˆ عن قيس بن مسلم عن ØØ§ رق ابن شهاب. عن ابن سعيد Ø§Ù„ØØ¯Ø±ÙŠ Ù‚Ø§Ù„ Ø§ØØ±Ø¬ مروان المنبر ÙÙ‰ يوم عيد ÙØ¨Ø¯Ø£ Ø¨Ø§Ù„ØØØ¨Ø© قبل الصلاة. Ùقام رجل Ùقال, يا مروان ØØ§Ù„ÙØª السنة Ø§ØØ±Ø¬Øª المنبر ÙÙ‰ يوم عيد Ùˆ لم يكن ÙŠØØ±Ø¬ Ùيه وبدأت Ø¨Ø§Ù„ØØØ¨Ø© قيل الصلاة, Ùقال ابو سعيد Ø§Ù„ØØ¯Ø±ÙŠ Ù…Ù† هذا ؟ قالوا Ùلان ابن Ùلان, Ùقال أماهذا Ùقد قض ما عليه سمعت رسول الله صل الله عليه Ùˆ سلم يقول, من رأى منكرا ÙØ³ØªØØ§Ø¹ ان يغيره بيده Ùليغيره بيده ÙØ§Ù† لم يستØÙŠØ¹ ÙØ¨Ù„سنه, ÙØ§Ù† لم يستØÙŠØ¹ ÙØ¨Ù‚لبه Ùˆ ذلك اضع٠الايمان. سنن أبي داود ØØ¯Ø³Ù†Ø§ Ù…ØÙ…د بن العلاء وصناد بن السرى قال ØÙ†Ø§ أبو معاويه عن الأعمش عن اسمعيل بن رجاء عن أبي سعيد Ùˆ عن قيس بن مسلم عن ØØ§Ø±Ù‚ بن شهاب عن أبي سعيد Ø§Ù„ØØ¯Ø±Ù‰ , قال سمعت رسول الله صل الله عليه وسلم يقول من رأى منكرا ÙØ§Ø³ØªØØ§Ø¹ أن يغيره بيده Ùليغيره بيده ÙˆÙ‚ØØ¹ هناد بقيه Ø§Ù„ØØ¯ÙŠØ³ ÙˆÙØ§Ù‡ ابن العلاء ÙØ§Ù† لم يستØÙŠØ¹ ÙØ¨Ù„سانه, ÙØ§Ù† لم يستØÙŠØ¹ بلسانه ÙØ¨Ù‚لبه, ذلك أضع٠الايمان سنن أبي داود 123 4 Sunan Al-Nasa’I, JuzVIII, hal111-112Ø§ØØ¨Ø±Ù†Ø§ اسØÙ‚ بن منصور Ùˆ عمرو بن علي عن عبدالرØÙ…Ù† قال ØØ¯ØÙ†Ø§ سÙيان عن الأعمش عن أبى عمارعن عمرو بن Ø´Ø±ØØ¨ÙŠÙ„ عن رجل من Ø£ØµØØ§Ø¨ النبى صل الله عليه Ùˆ سلم قال. قال رسول الله صل الله عليه وسلم ملئ عمار ايمانا الي مشاشه. Ø£ØØ¨Ø±Ù†Ø§ Ù…ØÙ…د بنى بشا ر قال ØØ¯ØÙ†Ø§ عبد الرØÙ…Ù† قال ØØ¯ØÙ†Ø§ سÙيان عن قيش بن مسلم عن ØØ§Ø±Ù‚ شهاب . قال أبوسهيد سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من رأى منكرا Ùليغيره بيده ÙØ§Ù† لم يستØÙŠØ¹ ÙØ¨Ù„سانه ÙØ§Ù† لم يستØÙŠØ¹ ÙØ¨Ù‚لبه Ùˆ ذلك اضع٠الايمان. سنن النساءى ØØ¯Ø³Ù†Ø§ عبد الØÙ…يد بن Ù…ØÙ…د . قال ØØ¯ØØ§Ù† Ù…ØÙ„د قال ØØ¯Ø³Ù†Ø§ مالك بن مغول عن قيش بن مسلم عن ØØ§Ø±Ù‚ بن شهابز. قال. قال أبو سعيد Ø§Ù„ØØ¯Ø±Ù‰ سمعت رسولله صل الله عليه وسلم يقول من رأى منكرا Ùيغيره بيده Ùقد برئ Ùˆ لم يستØÙŠØ¹ ان يغير بيده ÙØºÙŠØ±Ù‡ بلسانه Ùقد برئ ومن لم يستØÙŠØ¹ ان يغير بلسانه ÙØºÙŠØ±Ù‡ بلسانه Ùقد برئ Ùˆ ذلك اضع٠الايمان. سنن النساءى 5 Sunan Ibnu Majah, Juz I, hal 406 dan JuzII, hal1330ØØ¯ØÙ†Ø§ ابوكريب ØÙ†Ø§ ابو معاوية عن الأعمش عن اسماعيل بن رجاء عن أبيه عن ابى سعيد وعن قيس بن مسلم عن ØØ§Ø±Ù‚ بن شهاب عن ابى سعيد قال Ø£ØØ±Ø¬ مروان المنبر يوم العيد ÙØ¨Ø¯Ø£ Ø¨Ø§Ù„ØØØ¨Ø© قبل الصلاة Ùقام رجل Ùقال يامروان! ØØ§Ù„ÙØª السنة Ø£ØØ±Ø¬Øª المنبر يوم عيد ولم يكن ÙŠØØ±Ø¬ به وبدأت Ø¨Ø§Ù„ØØØ¨Ø© قبل الصلاة ولم يكن يبدأبها Ùقال أبو سعيد أما Ùقد قضى ما عليه سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من راى منكرا ÙØ§Ø³ØªØØ§Ø¹ أن يغيره بيده Ùليغيره بيده ÙØ¥Ù† لم ÙŠØ³ØªØØ¹ ÙØ¨Ù„سانه ÙØ¥Ù† لم ÙŠØ³ØªØØ¹ بلسانه ÙØ¨Ù‚لبه وذلك أضع٠الإيمان سنن ابن ماجه 6 Musnad Ahmad, Juz III, hal10, 20, 49, 52, 53 dan 92Dengan demikian, untuk memperjelas dan mempermudah proses kegiatan al-I’tibar, diperlukan pembuatan skema seluruh matarantai sanad hadis yang akan diteliti. Dalam pembuatan skema, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, yakni Adapun contoh skemanya untuk perawi shahih muslim adalah sebagai berikut Nama Periwayat Urutan sebagai periwayat Urutan sebagai sanad 8. Abu Bakr bin Abi Syaibah 9. Muhammad bin al-Musanna Periwayat I Periwayat II Periwayat III Periwayat VI Periwayat VII Sanad VI Sanad V Sanad IV Sanad III Sanad III Sanad II Sanad II Sanad I Sanad I Mukharrijul Hadits Dengan memperhatikan skema gambar tersebut akan mudah dilakukan kegiatan al-I’tibar. Posisi masing-masing periwayat dan lambang-lambang periwayatan yang digunakan mudah dikenali dengan baik, sehingga dapat diketahui bahwa perawi yang berstatus syahid tidak ada, karena dalam kenyataanya Abu Sa’id merupakan satu-satunya sahabat Nabi saw yang meriwayatkan hadis yang sedang diteliti. an tetapi untuk muttabi’, harus melihat pada masalah jika yang akan diteliti itu sanad dari al-turmudzi, maka Ahmad bin Hanbal merupakan muttabi’ bagi bundar. Bundar dalam hal ini sebagai sanad pertama bagi al-turmudzi, lalu pada sanad ke-II, ke-III dan ke-V bagi sanad al-turmudzi, masing-masing memiliki muttabi’ yaitu waki’ al-a’masy sebagai muttabi’-nya sufyan. Sedang raja’ sebagai muttabi’-nya thariq bin syihab. Jadi muttabi’ bagi sanad al-turmudzi itu datang dari sanad al-Nasa’I, Ahmad bin Hanbal, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah DAFTAR PUSTAKA Al-Mas’udi, Hafid Hasan. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Surabaya Salim Nabkan, tt. Al-Munawar, Agil Husein. dkk, Dasar-Dasar Ilmu takhrij Hadits dan Studi Hadits. Semarang Dina Utama, 1995. Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadits. Surabaya Al-Muna, 2010. As Shaleh, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta Pustaka Firdaus, 2002. Ismail, Syuhudi. Metode Penelitian Hadits Nabi. Jakarta Bulan Bintang, 1992. M Abdurrahman. Studi Kitab Hadits. Yogyakarya UIN Sunan Kalijaga, 2003. Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadits. Jakarta Amzah, 2008. Nurudin ITR. Ulum Al-Hadits. Bandung Remaja Rosdakarya, 1995. Rahman, Fatkhur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung PT AL Ma’arif, 1974. Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Jakarta Gaya Media Pratama, 1996. Rohman, Fatkhur. Ikhtisar Musthlahul Hadits. Bandung PT Al-Ma’arif, 1985. Smeer, Zeid B. Ulumul Hadis. Malang UIN Malang Press, 2008. Solahuddin, M. Agus. Dkk. Ulumul Hadis. Bandung Pustaka Setia, 2008. Zarkasyi Chumaidy, Ahmad. Takhrij Al-Hadits, Mengkaji dan Meneliti al-Hadits. Bandung IAIN Sunan Gunung Jati, 1990. [1] M. Agus Solahuddin, dkk, Ulumul Hadis Bandung Pustaka Setia, 2008, 17. [2] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadits, Surabaya Al-Muna, 2010, v [3] Munculnya hadits palsu yang disebabkan karena pertentangann politik soal pemilihan kholifah, adanyapihak lain yang mau merusak ajaran Islam, adanya perang dalil dalam masalah madzah baik masalah fiqih atau kalam dan dalam rangka menjilat para penguasa dalam mencari kedudukan. Lihat karangan M. Agus Solahuddin, dkk, Ulumul Hadis Bandung Pustaka Setia, 2008, 176 – 181. [4] H Zeid B. Smeer, Lc, Ulumul Hadis Malang UIN Malang Press, 2008, 31. [6] Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi YogyakartaCESad YPI Al- Rahmah, 2001, 16 [7] Subhi As Shaleh, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits Jakarta Pustaka Firdaus, 2002, 10. [8] Nurudin ITR, Ulum Al-Hadits Bandung Remaja Rosdakarya, 1995, 197 – 211. [9] Ibid, 208 – 2011, lihat juga As-Subhi, 93 – 107. [10] Agus Solahuddin, 111 [13] Nurudin, 102-103, bandingkan dengan Subhi, 326 [21] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits Jakarta Amzah, 2008, 116, baca Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits Jakarta Gaya Media Pratama, 1996, 191. [22] Ibid, 117 bandingkan dengan, Ahmad Zarkasyi Chumaidy, Takhrij Al-Hadits, Mengkaji dan Meneliti al-Hadits Bandung IAIN Sunan Gunung Jati, 1990, 7. [23] Agil Husein al-Munawar dkk, Dasar-Dasar Ilmu takhrij Hadits dan Studi Hadits, Semarang Dina Utama,1995, 39. [24] Yang dimaksud bersambung sanadnya adalah bahwa setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerima nya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu seterusnya sampai pada pembicara yang pertama. Hal ini bisa diketahui dengan cara mencatat semua perawi yang ada dalam sanad, mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi dan meneliti kata yang menghubungkan antara para perawi dan rawi yang terdekat dalam sanad yang Agus Solahudin, 143 [25] H Zeid B. Smeer, 49. [26] M Agus Solahudin, 141. [29] Ibid. hal 94 – 97 dan bandingkan, Fatkhur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits Bandung PT AL Ma’arif, 1974, 26 – 28. [31] Subhi As Shaleh, 111. [35] Hadits baru akan diterima setelah diakui kesahehannya dengan indikator sanad dan transmisinya muttasil, perawinya adil, dhabit, tidak syadz janggal dan juga tidak ada illah cacat. Lihat dalam kata pengantar Studi Kitab Hadits, karya M Abdurrahman, Yogyakarya UIN Sunan Kalijaga, 2003, xvii [38] Hafid Hasan Al-Mas’udi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi Surabaya Salim Nabkan, tanpa th, 108, baca Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadits Nabi Jakarta Bulan Bintan, 1992, 51. [39] Nurudin, 78, bandingkan dengan Fatkhur Rohman, Ikhtisar Musthlahul Hadits Bandung PT Al-Ma’arif, 1985, 268. [40] Agus Solahuddin, 159.
Connection timed out Error code 522 2023-06-13 144303 UTC What happened? The initial connection between Cloudflare's network and the origin web server timed out. As a result, the web page can not be displayed. What can I do? If you're a visitor of this website Please try again in a few minutes. If you're the owner of this website Contact your hosting provider letting them know your web server is not completing requests. An Error 522 means that the request was able to connect to your web server, but that the request didn't finish. The most likely cause is that something on your server is hogging resources. Additional troubleshooting information here. Cloudflare Ray ID 7d6b19ccfa100b87 • Your IP • Performance & security by Cloudflare
Connection timed out Error code 522 2023-06-13 144303 UTC What happened? The initial connection between Cloudflare's network and the origin web server timed out. As a result, the web page can not be displayed. What can I do? If you're a visitor of this website Please try again in a few minutes. If you're the owner of this website Contact your hosting provider letting them know your web server is not completing requests. An Error 522 means that the request was able to connect to your web server, but that the request didn't finish. The most likely cause is that something on your server is hogging resources. Additional troubleshooting information here. Cloudflare Ray ID 7d6b19ca5936b724 • Your IP • Performance & security by Cloudflare
Kamus Kata baku indonesia » i’tibar - iktibari’tibar - iktibarpertimbangan; pengajaranBerikut ini adalah Informasi kata baku dari i’tibar - iktibar yang berarti pertimbangan; download gambar Tekan gambar di atas beberapa detik sampai muncul menu, kemudian pilih save atau download gambar
Itibar memiliki 1 arti. Itibar Bentuk tidak baku dari iktibar. Kesimpulan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, arti kata itibar adalah bentuk tidak baku dari iktibar.
arti kata i tibar